HUKUM ISLAM DI MATA ORIENTALIS
Formulasi
Hukum Islam dalam Perspektif Joseph Schacht
Oleh : Kholil Syu’aib, M.Ag
Abstrak
Joseph
Schacht adalah sarjana Barat yang sangat masyhur kajiannya dalam bidang hukum
Islam. Sepanjang masa hidupnya, ia mengabdikan dirinya kepada kajian historis
pemikiran hukum Islam pada periode-periode awal. Dalam karya-karyanya ia
menguraikan garis besar sejarah dan perkembangan pemikiran hukum Islam, yang
merupakan kajian dengan menggunakan metodologi dan pendekatan modern. Gagasan-gagasan
Schacht tentang pembentukan hukum Islam banyak menimbulkan perdebatan di
kalangan ilmuan hukum Islam khususnya, sehingga mereka terinspirasi untuk
menelitinya.
Joseph
Schacht is very famous West master of study in the field of Islamic law. During
the time of his life, he devoted his self to historical study of idea of
Islamic law at early periods. In his materpiece he elaborates history outline
and growth of idea of Islamic Law, it is study bay using modern approach and
methodologies. Schacht ideas concerning forming of Islamic law making issue
many among masters of Islamic law specially, so that they are inspirited to
research him.
يوسف سكات مؤهل غربي و مشهور بنظرياته
فى التشريع الإسلامي. وخمد نفسه فى النظر
إلى التاريخ عن تفكير التشريع الإسلامي فى العصور الأولى طول حياته. وفصل فى
تصانيفه الإجمال من التاريخ و نشأة التشريع الإسلامي, وهي من النظريات التى
استعملت الطريقة و التقربة الحديثة. ومن أراءه عن تكوين التشريع الإسلامي تحمل إلى
الخلاف بين المؤهلين فى التشريع الإسلامي خاصا, حتى تلهمهم إلى نظرها.
Pendahuluan
Sebagai seorang sejarawan hukum, Schacht telah memberikan sumbangan
yang sangat berarti bagi pengetahuan kita, khususnya tentang perkembangan
sejarah hukum Islam. Schacht tentunya tidak berlebihan ketika dia mengatakan
bahwa hukum Islam menempati posisi yang sangat sentral dalam rasa keagamaan
kaum muslimin.[1]
Bahkan sekarangpun, ketika pengaruh nilai-nilai Barat sedemikian dalamnya
merasuki jiwa tatanan masyarakat muslim, hukum Islam masih terbukti mampu
memainkan peran yang begitu menentukan dalam kancah pergulatan antara kelompok
tradisionalis dan modernis yang muncul dalam peradaban Islam itu sendiri.
Schacht sendiripun sesungguhnya juga sudah lama mengemukakan tesisnya bahwa
seorang pemerhati peradaban Islam tidak akan mampu memahami gejolak
perkembangan lembaga hukum Islam di negara-negara muslim modern sekarang ini
tanpa adanya pemahaman yang mendalam tentang sejarah teori dan praksis hukum
positif dalam Islam.[2]
Gagasan Schacht mengenai perkembangan historis hukum Islam telah
menghasilkan suatu kesimpulan yang diperdebatkan serius di antara para pengkaji
Islam. Sebagian di antara mereka secara umum menerima gagasan itu, tetapi
mengkritik aspek-aspek tertentu dari pendapat itu, sementara sebagian yang lain
dengan keras menentangnya. Bagaimanapun dan apapun tanggapan mereka, pemikiran
Schacht tetap merupakan suatu keberhasilan yang besar di bidang hukum Islam.
Gagasan itu telah memberi inspirasi kepada para pengkaji Islam dalam penelitian
mereka tentang persoalan tersebut. Karya besarnya, The Origins of Muhammadan
Jurisprudene dan An Introduction to Islamic Law, di mana ia
mengelaborasikan sebagian besar gagasannya secara spektakuler.
Biografi Singkat Joseph Schacht
Walaupun bukan bermaksud menulis
biografi Schacht secara detail, dalam hal ini diupayakan memberikan garis besar
peristiwa-peristiwa tertentu yang berarti dalam karirnya dan lebih
berkonsentrasi pada faktor-faktor yang perlu bagi pemahaman kita tentang latar
belakangnya sebagai sarjana kajian-kajian keIslaman, khususnya hukum Islam.
Schacht lahir pada tanggal 15 Maret 1902 di Ritabor, Silesia
yang dulu di wilayah Jerman dan sekarang termasuk Polandia (Rociborz), hanya
menyeberangi perbatasan dari Cekoslowakia.[3]
Di kota ini, ia
tumbuh berkembang dan tinggal selama delapan belas tahun pertama dari
kehidupannya.[4]
Schacht berhasil memperoleh tingkat pendidikan tinggi. Ia memulai
pendidikannya di kota
kelahirannya, Ritabor. Setelah mempelajari bahasa Yahudi dari seorang rabbi
dan berhasil menguasainya, kemudian ia menerima pendidikan Gymnasium Klasikal
di sana (1911-1920), setelah itu ia melanjutkan studinya ke Universitas Breslau
(Wroclaw) dan Leipzig, di mana pertama kali ia mengkaji filologi klasik,
semitik dan juga teologi.[5]
Pada tahun 1922, ia mendapat penghargaan (accountability) dengan
memenangkan medali universitas dengan satu risalah tentang Perjanjian Lama, dan
ia memperoleh gelar D.Phil dengan predikat Summa Cumlaude dari
Universitas Breslau pada akhir tahun 1923. Ia juga mendapatkan gelar M.A. pada
tahun 1947 dan gelar D.Litt. pada tahun 1952, keduanya dari Universitas Oxford.[6]
Disertasi doktornya terdiri dari sebuah edisi dengan terjemahan dan komentar
atas Kitab al-Hiyal wa al-Makharij karya Khassaf (Hanover, 1923), sebuah teks Arab abad
pertengahan tentang perlengkapan hukum.
Pendidikan teoretis Schacht tidak terpisahkan dari aspek-aspek
praktis topikal dari bidang studinya. Selama periode jabatan akademisnya yang
pertama di Universitas Freiburg Breisgau pada tahun 1925, ia mengambil
keuntungan dari hubungan dengan kawan-kawannya di fakultas hukum. Dengan
demikian, tanpa mengambil gelar hukum ia mendapatkan dasar pengetahuan teknis
yang cukup untuk mendukung karir penelitiannya tentang hukum Islam dengan
bacaan dan pergaulannya sendiri.[7]
Pada tahun 1939, Schacht pindah ke Inggris. Ia bekerja sebagai ahli
dan peneliti masalah-masalah ketimuran di Departemen Penerangan Inggris.[8]
Pada tahun 1946, ia pertama kali dipilih sebagai dosen di Universitas Oxford, lalu belakangan
sebagai analis (pengkaji) di bidang kajian-kajian keIslaman (terutama hukum
Islam). Selama beberapa tahun di
Oxford, ia mampu
menyelesaikan karyanya, The Origins.[9]
Penelitiannya di Afrika sangat bermakna bagi karirnya, karena ia
mempunyai kesempatan kontak dengan kehidupan nyata masyarakat muslim, yang
hasilnya tiba-tiba menjadi terwujud dalam pengujiannya yang mendalam terhadap
mesjid-mesjid sektarian (An Unknown Type of Minbar and Its Historical
Significance, 1957).[10]
Lebih khusus, ia menjadi lebih akrab dengan problematika penerapan hukum Islam
dalam konteks sosial.[11]
Pada tahun 1954, setelah meninggalkan jabatannya di Oxford, dengan berat hati Schacht
meninggalkan Inggris ke Belanda untuk menduduki guru besar di bidang bahasa
Arab di Universitas Leiden.
Di sini ia mampu mengkaji secara intensif di bawah bimbingan C. Snouck
Hurgronje.[12]
Pada tanggal 1 Agustus 1969, Schacht meninggal dunia di rumah di New Jersey, karena
terserang pendarahan otak. Sebelum meninggal, ia pernah merencanakan untuk
melengkapi beberapa edisi dan studi tentang Kitab al-Tauhid karya
al-Maturidi dan Mudawwanah karya Sahnun. Sayangnya, proyek ini tidak
dapat terealisasikan.[13]
Ada beberapa karya yang ditulis Schacht tentang hukum Islam, meski
demikian, sebagian besar gagasan utamanya diungkapkan dalam karyanya, The
Origins, dan secara ringkas dijelaskan kembali dalam karyanya, An
Introduction. Kedua karyanya itu memiliki semua sifat keaslian dan
pemikiran yang mendalam. Kedua karyanya itu telah mendorong sejumlah sarjana
untuk melakukan penelitian lebih jauh.
Pembentukan Hukum Islam
Perkembangan historis sumber-sumber hukum Islam dan peran sentral
dalam pembentukannya merupakan perhatian utama Schacht. Schacht berpendapat,
Syafi’i adalah orang yang bertanggung jawab atas perkembangan teori tentang
empat sumber pokok hukum Islam; al-Qur`an, sunnah Nabi, ijma’ dan
qiyas. Schacht juga mempertahankan bahwa Syafi’i adalah orang pertama yang
menyusun buku tentang teori hukum Islam, dengan berargumen bahwa pernyataan
“…Abu Yusuf adalah orang pertama yang menyusun karya-karya hukum atas dasar
doktrin Abu Hanifah,” tidak didukung oleh sumber-sumber tertua. Oleh karena
itu, tidak asing bahwa Schacht mengakui Syafi’i sebagai pendiri hukum Islam.[14]
Bagian ini bermaksud untuk mengemukakan pandangan-pandangan Schacht mengenai
pembentukan hukum Islam, khususnya yang terkait dengan perkembangan historis
sumber-sumber hukum Islam dari periode Islam yang paling awal hingga mencapai
puncaknya di tangan Syafi’i.
Schacht menyatakan bahwa selama paruh awal abad pertama hijrah,
hukum Islam seperti yang kita ketahui sekarang ini belum ada.[15]
Hukum semacam ini, Schacht mempertahankan, jatuh di luar bidang agama. Schacht
berargumen, permulaan abad kedua hijrah, atau periode Umayyah merupakan era di
mana Islamisasi hukum bertitik tolak, yang melanjutkan perkembangannya hingga
permulaan periode tulis-menulis.[16]
Untuk mengelaborasi gagasan ini, Schacht secara sistemantis memperhatikan
perkembangan historis pemikiran hukum Islam dari periode pra-Umayyah hingga
masa Syafi’i, suatu masa ketika ide tentang hukum Islam itu muncul sebagai sebuah
konsep final dan lengkap.
Seharusnya diingat bahwa menurut teori hukum Islam klasik,
sumber-sumber pokok hukum Islam itu disusun sebagai berikut: al-Qur`an, sunnah
Nabi, ijma’ dan qiyas. Berbagai persoalan hukum yang dihadapi
oleh orang-orang muslim dipecahkan dengan bantuan sumber-sumber ini secara
berurutan.[17]
Walaupun Schacht mengakui hal ini, ia menjelaskan bahwa fakta historis
merupakan unsur otoritatif terakhir dalam perumusan hukum Islam, dan bukan yang
pertama. Lebih menarik lagi, Schacht berpendapat, adalah kenyataan bahwa
norma-norma tertentu dari hukum Islam yang pertama berbeda dengan perkataan
al-Qur`an dan eksplisit. Selain itu, ia menyatakan bahwa pusat aktivitas
teorisasi dan sistemisasi pertama yang dipakai untuk mentransformasikan praktek
populer dan administrasi rezim Umayyah ke dalam hukum Islam adalah Irak. Teori
dan pemikiran hukum aliran-aliran Irak, menurutnya, lebih dikembangkan daripada
teori dan pemikiran hukum aliran-aliran di tempat-tempat lainnya.[18]
Sesuai dengan perkembangan sunnah secara historis, Schacht
menguraikan perkembangan historis sumber-sumber hukum Islam. Selama kehidupan
Muhammad, menurut Schacht, sunnah yang ada pada masyarakatnya merupakan
salah satu sumber penting untuk memecahkan persoalan masyarakat muslim dan
menjadi salah satu konsep pokok hukum Islam.[19]
Sunnah ini, selama periode Khulafa` Rasyidun, bercampur dengan sunnah
wilayah-wilayah yang ditaklukkan di luar jazirah Arab. Konsep sunnah
menjadi salah satu dari hal terpenting dalam pembentukan hukum Islam.[20]
Karena posisi sunnah yang signifikan itu, ayat-ayat al-Qur`an tertentu
nampaknya menjadi terabaikan.[21]
Tahapan selanjutnya dari perkembangan itu terjadi selama periode
Umayyah. Khalifah memilih qudhat (bentuk jama’ dan qadhi,
hakim) di masing-masing provinsi untuk memecahkan berbagai permasalahan hukum.
Hukum adat masing-masing provinsi dan praktek populer serta aturan-aturan
administrasi rezim Umayyah yang diinterpretasikan oleh para qudhat
melalui ra’yu mereka, dianggap sebagai sumber utama yang digunakan untuk
menyelesaikan permasalahan-permasalahan hukum. Qudhat ini adalah
pegawai-pegawai administrasi resmi rezim Umayyah dan keputusan-keputusan mereka
meletakkan pondasi dasar bagi apa yang kemudian menjadi hukum Islam.[22]
Di sini upaya-upaya teorisasi, sistemisasi, dan Islamisasi pertama berawal
secara serius.[23]
Pada dekade pertama abad kedua, qudhat ini menjadi lebih dan
lebih spesialis, lebih tertarik dengan agama, dan dengan memakai pemikiran
pribadi, mereka memperhatikan perluasan pandangan hidup Islam yang mencakup
sistem hukum Islam.[24]
Sebagai akibatnya, Schacht menjelaskan, praktek populer dan administrasi
Umayyah periode terakhir ditransformasikan ke dalam hukum Islam. Pada tahap
perkembangan berikutnya, bersama dengan para ulama yang lain, memunculkan apa
yang disebut madzahib (bentuk jama’ dari madzhab, aliran
hukum agama) yang benar-benar berbeda dengan pembagian geografis mereka.[25]
Aliran yang paling terkenal adalah aliran Kufah dan Bashrah di Irak, alirah
Madinah Mekah di Hijaz, serta aliran Syria.[26]
Ijma’, kesepakatan antara para ulama madzahib, menjadi lebih
penting daripada ra`yu masing-masing ulama. Praktek masyarakat ideal,
yang terekspresikan dalam doktrin yang diterima para sarjana, yang dengan
sederhana disebut Schacht sebagai tradisi hidup menggantikan konsep sunnah
sebelumnya dan menjadi salah satu dari sumber-sumber utama hukum Islam.[27]
Karakteristik geografis aliran-aliran hukum klasik menjadi kurang
didefinisikan secara tepat setelah masa Syafi’i,[28]
dan mereka mentrasformasikan diri ke dalam tipe aliran selanjutnya berdasarkan
kesetiaan kepada guru pribadi, yang berkembang sekitar abad ketiga hijrah.
Melalui berbagai perkembangan aliran Kufah klasik mentransformasikan diri ke
dalam aliran Hanafiyah,[29]
dan aliran Madinah klasik mentransformasikan diri ke dalam aliran Malikiyah.[30]
Keterlibatan Syafi’i dalam proses sistemisasi dan Islamisasi hukum membantu
doktrin-doktrinnya menjadi dikenal sebagai aliran Syafi’i.[31]
Pada tingkat tertentu, doktrin sistematis Syafi’i tidak memuaskan
kelompok-kelompok tertentu, khusus para ahli hadis. Berbeda dengan doktrin
Syafi’i, para ahli hadis bersikap memusuhi semua pemikiran dan mencoba
mempercayai hadis semata-mata,[32]
serta mereka lebih suka kepada hadis dha’if daripada analogi (qiyas)
yang kuat. Para ahli hadis berdasarkan doktrin
mereka kepada seorang ahli hadis terkemuka, Ibn Hanbal,[33]
yang kemudian diakui sebagai pendiri aliran Hanbali.[34]
Fenomena selanjutnya adalah munculnya sebuah gerakan keagamaan yang
beroposisi terhadap kebijakan sekuler para khalifah Umayyah. Di mata gerakan
keagamaan itu tindakan-tindakan dan aturan-aturan pemerintahan telah menyimpang
dari ajaran agama, dan upaya serius untuk memeluk doktrin secara tepat harus
dilakukan. Secara luas tidak diragukan, karena alasan inilah bahwa proses Islamisasi
hukum lebih dielaborasi secara sistematis. Al-Qur`an seringkali dipakai sebagai
rujukan mengenai permasalahan-permasalahan hukum dan makna sunnah
dibatasi secara ketat hanya kepada perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan,
dan persetujuan (taqrir) Nabi.[35]
Di tangan Syafi’i, Schacht berpendapat, sistemisasi dan Islamisasi
pemikiran hukum dalam Islam telah mencapai puncaknya.[36]
Syafi’i menyatakan teorinya bahwa sumber-sumber hukum Islam secara hirarki
adalah al-Qur`an, sunnah Nabi, ijma’, dan qiyas. Seorang
ulama harus menafsirkan bagian-bagian al-Qur`an yang bermakna ganda menurut sunnah
Nabi, menurut ijma’ kaum muslimin, dan jika tidak ada ijma’
menurut qiyas.[37]
Tidak ada ruangan, dalam teori Syafi’i, untuk pikiran pribadi (ijtihad bi
al-ra`yi) semata atau hukum kebiasaan masyarakat dalam menjelaskan berbagai
keputusan hukum.[38]
Seperti para ulama sebelumnya, Syafi’i memposisikan al-Qur`an
sebagai sumber utama hukum Islam. Sunnah ditekankan sebagai kondisi yang
berhubungan dengan Nabi secara tepat.[39]
Ijma’ para ulama, yang dipegang sebagai sumber penting bagi para
pendahulunya, menjadi tidak relevan bagi Syafi’i.[40]
Ia bahkan mengingkari keberadaan ijma’ semacam itu, karena ia selalu
menemukan para ulama yang memegangi pendapat-pendapat yang berbeda, ia bersandar
pada ijma’ seluruh umat Islam secara umum tentang persoalan-persoalan
pokok.[41]
Sebagai sumber terakhir adalah qiyas, berbeda dengan pendapat
yang lebih awal, Syafi’i pada prinsipnya hanya mengakui pemikiran analogis dan
sistematis yang tepat, dengan menggunakan qiyas sebagai satu-satunya
jenis pemikiran untuk menggambarkan aturan-aturan tertentu dari tiga sumber
sebelumnya.[42]
Usaha Syafi’i ini, sebagai upaya final bagi perumusan sumber-sumber
pada khususnya dan hukum Islam pada umumnya dipandang sebagai sebuah sistem
konsisten yang sangat bagus dan jauh lebih unggul daripada berbagai
aliran-aliran klasik.[43]
Bagaimanapun, Schacht mengingatkan kita, usaha ini, dalam jangka panjang,
hanyak dapat mengarahkan kepada kekakuan dan menjadi semakin kaku serta menimbulkan
cetakan finalnya.[44]
Sehubungan dengan hal itu, Schacht juga menyatakan, berbagai
indikasi, pertama dari sebuah sikap yang mengingkari kebebasan pemikiran yang
sama bagi para ulama kontemporer seperti dinikmati oleh para pendahulu mereka
tampak pada tulisan Syafi’i dan sejak sekitar pertengahan abad ketiga hijrah
(abad kesembilan masehi), ide itu mulai menampakkan dasar bahwa hanya para
ulama besar masa lampau yang tidak dapat disamakan, dan bukan epigones,
memiliki hak untuk pemikiran independen (ijtihad mustaqil). Pada saat
itu, istilah ijtihad telah dipisahkan dari hubungan dengan penggunaan pendapat
pribadi yang bebas (ra`yu), dan membatasi pada penggambaran
kesimpulan-kesimpulan yang benar dari al-Qur`an, sunnah Nabi, konsensus
(ijma’), dan dengan analogi (qiyas) atau pemikiran sistematis.[45]
Dalam hal-hal berikut, Schacht kelihatannya setuju dengan sebagian
besar para sarjana sebelumnya, bahwa setelah Syafi’i telah terjadi peristiwa
yang tidak menguntungan bagi perkembangan hukum Islam, yang dikenal sebagai insidad
bab al-ijtihad, tertutupnya pintu ijtihad. Pada permulaan abad keempat
hijrah, pandangan pokok telah dicapai ketika para ulama dari berbagai aliran
merasa bahwa pertanyaan pokok telah dikaji dan diselesaikan secara final, dan
sebuah konsensus telah membuat dirinya secara bertahap berakibat bahwa sejak
saat itu dan selanjutnya, tak seorangpun yang mungkin dianggap memiliki
kualifikasi untuk (menghasilkan) pemikiran independen (ijtihad mustaqil)
dalam hukum Islam, dan bahwa seluruh aktivitas mendatang harus dibatasi pada
penjelasan, penerapan, dan pada sebagain besar, penafsiran doktrin, sebagaimana
ditetapkan sekali dan untuk semuanya. Tertutupnya pintu ijtihad, sebagaimana
istilah itu disebut, sama dengan tuntutan untuk taqlid.[46]
Dalam beberapa generasi berikutnya terdapat sejumlah ulama yang
berpendapat bahwa mesti selalu ada seorang mujtahid, atau mesti ada orang-orang
yang patut dipandang memenuhi persyaratan yang sangat tinggi yang telah
ditetapkan sebagai persyaratan bagi seorang mujtahid. Tetapi pandangan ini
masih saja bersifat teoretis, karena tak seorangpun dari ulama yang benar-benar
menghasilkan penafsiran hukum syari’ah secara independen.
Schacht mencontohkan Ibn Taimiyah, meskipun tidak secara jelas
menganjurkan membuka kembali pintu ijtihad, tetapi konsekuensi dari pendapatnya
tentang ijma’ dia sanggup menolak taqlid, menafsirkan al-Qur`an
dan hadis-hadis Nabi dengan menarik kesimpulan-kesimpulan baru mengenai
berbagai kelembagaan hukum Islam.[47]
Apapun yang dikatakan oleh teori tentang ijtihad dan taqlid,
kegiatan para ulama pada masa kemudian – setelah tertutupnya pintu ijtihad –
tidak dapat dikatakan kurang kreatif daripada ulama-ulama yang lebih dahulu
dari mereka.
Tentunya dari paragraf-paragraf sebelumnya jelas bahwa hukum Islam yang
sampai pada permulaan pemerintahan ‘Abbasiyah telah bersifat adaptif dan
semenjak masa itu terus berkembang semakin kaku serta memperoleh bentuknya yang
bersifat final. Memang kekakuan hukum Islam telah membantu dalam menciptakan
stabilitas hukum untuk masa berabad-abad yang memperlihatkan melemahnya
lembaga-lembaga politik Islam. Memang tidak seluruhnya dapat dihindarkan,
tetapi perubahan yang benar-benar terjadi banyak berkenaan teori hukum dan
suprastruktur yang sitematis daripada perubahan dalam hukum positif. Secara
keseluruhan, hukum Islam membias sesuai dengan kondisi sosial dan ekonomi pada
periode awal kekuasaan ‘Abbasiyah, tetapi hukum itu akhirnya berkembang semakin
jauh dari sentuhan perkembangan kenegaraan dan kemasyarakatan yang kemudian.
Semestinya, proses historis
pembentukan hukum Islam tersebut tidak bisa dipisahkan dari sejarah umat Islam
itu sendiri, khususnya sejarah perpolitikan. Karena ketika pemerintahan Islam
berkuasa, hukum Islam merupakan hukum yang berlaku di daerah-nya kekuasaanya
secara idealistis.
Tanggapan Terhadap Gagasan Schacht
Satu
tanggapan terhadap gagasan Schacht tentang pembentukan hukum Islam, yaitu dari
ahli sejarah hukum Inggris, Noel James Coulson. Coulson, walaupun mengakui
validitas garis besar gagasan Schacht,[48]
menganggapnya sulit untuk memahami keterputusan (discontinuity) yang
diciptakan Schacht antar al-Qur`an dengan pembentukan hukum Islam. Berbeda
dengan Schacht, Coulson berpendapat bahwa legislasi al-Qur`an, khususnya
aturan-aturan rinci mengenai hukum keluarga, telah memunculkan perkembangan
hukum secara berkesinambungan.[49]
Muhammad,
menurut Coulson, pasti telah menghadapi berbagai persoalan hukum, dan posisinya
sebagai juru penengah (hakam), tidak diragukan merupakan kesinambungan
dari kebiasaan pra-Islam. Oleh sebab itu, dalam pandangan Coulson, tepat jika
dikatakan bahwa Muhammad sendiri telah menandai permulaan perkembangan struktur
hukum dari prinsip-prinsip etis yang terdapat dalam al-Qur`an.[50]
Selain
Coulson, Azami satu-satunya sarjana yang menulis buku khusus ditujukan kepada
karya Schacht, Origins. Dengan mendukung berbagai kesimpulan yang
dicapai dalam buku sebelumnya, Studies in Early Hadith Literature, ia
menantang gagasan Schacht termasuk tentang pembentukan hukum Islam.
Terlepas
dari kritiknya yang sangat detail, Azami secara umum mengemukakan pendapat yang
sama dengan pendapat para sarjana lainnya yang mengkritik Schacht karena tidak
memberikan perhatian cukup kepada berbagai keputusan hukum al-Qur`an, yang
menurut Azami, merupakan kesalahan metodologis yang fundamental.[51]
Hal ini, katanya, benar-benar karena Schacht salah konsepsi tentang hukum dan
posisi Nabi sebagai penafsir hukum Tuhan yang berdasarkan wahyu, Azami telah
mengabadikan satu bab dalam karyanya, Schacht Origins[52]
untuk menjelaskan konsep hukum dan pernan Nabi yang berhubungan dengan hukum
berdasarkan ayat-ayat al-Qur`an.
Azami
kelihatannya terkejut oleh pernyataan Schacht bahwa tujuan Muhammad adalah
bukan untuk menciptakan hukum baru,[53]
dan hukum semacam itu berada di luar wilayah agama.[54]
Pernyataan mengejutkan ini membuatnya merespon secara emosional dan apologetik
terhadap ide Schacht, dan akibatnya ia tidak menyajikab bantahan yang tegas
terhadap berbagai pandangan Schacht. Sayangnya, semangatnya untuk menonal ide
Schacht terkadang mengarahkannya menjadi salah menyajikan pokok pandangan
Schacht.
Hukum Islam adalah satu rangkuman yang meliputi seluruh kewajiban
keagamaan, segala perintah Tuhan yang mengatur tata kehidupan setiap muslim
dalam semua aspeknya, yang sumbernya adalah al-Qur`an dan sunnah Nabi.
Peraturan-peraturan itu terdiri dari norma-norma yang berkenaan dengan
peribadatan, pengabdian, masalah politik dan aturan hukum dalam pengertian
secara sempit. Pembatasan tersebut ditinjau dari segi sejarah dan sistemnya
dapat dibenarkan, walaupun demikian tentu saja harus diingat bahwa membicarakan
hal-hal yang berkenaan dengan hukum berarti memikirkan bagian dari sistem
kaidah-kaidah etika dan agama itu sendiri.
Penutup
Gagasan
utama Schacht tentang pembentukan hukum Islam, berbeda dengan pandangan
tradisional. Schacht menganggap bahwa hukum Islam tidak berasal dari kehidupan
Nabi Muhammad SAW., dan ia melihat bahwa praktek populer dan administrasi
pemerintahan Bani Umayyah sebagai titik tolak bagi pembentukan hukum Islam.
Meskipun
basis pembentukan hukum Islam telah ada sejak masa jauh sebelum masa Syafi’i,
namun fakta historis yang dapat dibuktikan hanyalah karya yang disusun oleh
Syafi’i. Jikalaupun terdapat hubungan tidak lebih dari apa yang diinformasikan
Syafi’i. Sehingga kesimpulan Schacht, bahwa pembentukan hukum Islam tidak
berawal sejak masa Nabi, karena tidak didukung oleh fakta-fakta historis.
Berbagai
tanggapan terhadap gagasan yang dilontarkan oleh Schacht tentang pembentukan
hukum Islam merupakan hasil penelitian terhadap wacana-wacana ilmiah yang
berkembang. Suatu penelitian memiliki metodologi yang valid untuk mencapai
hasil yang dapat diuji kebenaran ilmiahnya. Perbedaan metodologi sangat
memungkinkan akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula.
[1] Joseph Schacht, “Theology ang Law in Islam,” dalam G.E. von
Grunebaum (Ed.), Theology and Law in Islam, (Weisbaden: Otto
Harrasowitz, 1971), hlm. 23
[2] Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, (Oxford: The
Clorendon Press, 1965), hlm. 1
[3] Robert Brunschvig, Joseph Schacht (1902-1969,” Studia Islamica
31 (1970), hlm. v.
[4] George F. Hourani, “Joseph Schacht, 1902-1969,” Journal of
American Oriental Society 90 (1970), hlm. 163
[5] Aharon Layish, “Notes on Joseph Schacht’s Contribution to Studi of
Islamic Law,” British Society for Middle Eastern Studies, Bulletin 9 (1982),
hlm. 132
[6] Hourani, loc.cit.
[7] Ibid., hlm. 164
[8] Ibid.
[9] G.E. von Grunebaum (Ed.), Theology and Law in Islam,
(Weisbaden: Otto Harrasowitz), hlm. 190
[10] Ibid.
[11] Hourani, op.cit., hlm. 165
[12] Ibid., hlm. 166
[13] G.E. von Grunebaum, loc.cit
[14] Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence,
(Oxford: The Clarendon Press, 1967), hlm. 133.
[15] Schacht, An Introduction…, op.cit., hlm. 19.
[16] Schacht, The Origins…, op.cit., hlm. 190.
[17] ‘Umar Sulaiman al-Asyqar, Tarikh al-Fiqh al-Islami, (Amman:
Dar al-Nafa`is, 1991), hlm. 81
[18] Schacht, The Origins…, op.cit., hlm. 29, 76, 87, 105,
133, 233, 276.
[19] Schacht, An Introduction…, op.cit., hlm. 17.
[20] Ibid., hlm. 8.
[21] Ibid., hlm. 15-16.
[22] Ibid., hlm. 25.
[23] Schacht, The Origins…, op.cit., hlm. 283.
[24] Ibid., hlm. 26.
[25] Ibid., hlm. 7.
[26] Schacht, An Introduction…, op.cit., hlm. 28.
[27] Schacht, The Origins…, op.cit., hlm. 98.
[28] Ibid., hlm. 10.
[29] Aliran ini didirikan oleh Abu Hanifah, yang nama lengkapnya adalah
Nu’man ibn Tsabit ibn Zauthi. Secara politik, Abu Hanifah hidup dalam dua
generasi. Ia dilahirkan di Kufah pada tahun 80 H, artinya ia lahir pada zaman
Dinasti Umayyah, tepatnya pada zaman kekuasaan ‘Abd al-Malik ibn Marwan. Lihat
Manna’ al-Qaththan, Al-Tasyri’ wa al-Fiqh al-Islami: Tarikhan wa Minhajan,
(Mesir: Dar al-Ma’arif, 1989), hlm. 202. Beliau meninggal pada zaman kekuasaan
Dinasti ‘Abbasiyah, yaitu pada masa pemerintahan al-Manshur. Ia hidup selama 52
tahun pada zaman Umayyah dan 18 tahun pada zaman ‘Abbasiyah. Lihat Ahmad Amin, Dhuha
al-Islam, Nasy`ah al-‘Ulum fi al-‘Ashr al-‘Abbasi al-Awwal, (Mesir:
Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, 1974), hlm. 177.
[30] Malikiyah adalah aliran hukum Islam yang didirikan oleh Imam Malik,
yang nama lengkapnya adalah Malik ibn Anas ibn Abi ‘Amir al-Ashbahi. Ia
dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H. tidak berbeda dengan Abu Hanifah, beliau
juga termasuk ulama dua zaman. Ia lahir pada zaman Bani Umayyah, tepatnya pada
zaman pemerintahan al-Walid ibn ‘Abd al-Malik, dan meninggal pada zaman Bani
‘Abbas, tepatnya pada zaman Harun al-Rasyid, tahun 179 H. Ia sempat merasakan
pemerintahan Umayyah selama 40 tahun dan masa pemerintahan Bani ‘Abbas selama
46 tahun. Lihat Muhammad ‘Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1990), hlm. 111-112.
[31] Schacht, An Introduction…, op.cit., hlm. 59.
[32] Schacht, The Origins…, op.cit., hlm. 128-129.
[33] Nama lengkapnya adalah Ahmad ibn Hanbal ibn Asad ibn Idris ibn
‘Abdullah ibn Hasan al-Syaibani, lahir di kota
Salam Baghdad bulan Rabi’al-Awwal tahun 164 H dan wafat di Baghdad tahun 231 H. Lihat Muhammad Abu
Zahrah, Ibn Hanbal: Hayatuhu wa ‘Ashruhu wa Fiqhuhu, (Mesir: Dar al-Fikr
al-‘Arabi, 1941), hlm. 16-17.
[34] Schacht, An Introduction…, op.cit., hlm. 62-63.
Schacht juga menyebut guru-guru pribadi lainnya, seperti Abu Yusuf, Syaibani,
Sufyan Tsauri, Auza’i, Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyin al-Jauziyah. Mengenai aliran
hukum, Schacht menulis, terdapat beberapa aliran hukum lainnya, khususnya
periode awal. Namun sejak sekitar tahun 1300 M. hanya empat aliran hukum yang
masih hidup dalam ortodoksi Islam, yakni aliran Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan
Hanbali.
[35] Schacht, An Introduction…, op.cit., hlm. 26, 27, 29.
Lihat juga The Origins…, op.cit., hlm. 283
[36] Schacht, An Introduction…, op.cit., hlm. 45
[37] Abu Hamid al-Ghazali, Al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul,
(Mesir: Mushthafa Babi al-Halabi, 1971), hlm. 119
[38] Schacht, An Introduction…, op.cit., hlm. 46
[39] Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, Al-Risalah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), hlm. 22
[40] Schacht, The Origins…, op.cit., hlm. 88-94
[41] Al-Syafi’i, op.cit., hlm. 457. dalam pandangan Schacht,
konsep ijma’ semacam itu didasarkan atas gagasan yang diformulasikan
sesaat sebelum Syafi’i bahwa segala sesuatu yang disetujui atau yang tidak
disetujui oleh orang muslim itu baik atau buruk dalam pandangan Allah, dan
hanya pada pertengahan abad ketiga hijrah, kata Schacht, gagasan itu
dikembangkan dan dimasukkan ke dalam bentuk hadis dari Nabi: “Umatku tidak akan
sepakat atas kesalahan.” Lihat Schacht, An Introduction…, op.cit.,
hlm. 47
[42] Al-Syafi’i, op.cit., hlm. 476. Untuk mengetahui sikap
Syafi’i terhadap ra`yu, istihsan, istishhab, dan konsepnya
tentang qiyas dan ijtihad, lihat The Origins…, op.cit.,
hlm. 120-128
[43] Ibid., hlm. 137
[44] Ibid.
[45] Schacht, An Introduction…, op.cit., hlm. 70
[46] Ibid., hlm. 70-71
[47] Ibid., hlm. 72
[48] Noel J. Coulson, The History of Islamic Law, (Edinburg:
Edinburg University Press, 1990), hlm. 4 dan 64.
[49] Ibid., hlm. 64-65
[50] Ibid., hlm. 22
[51] Muhammad Mushthafa ‘Azami, On Schacht’s Origins of Mohammadan
Jurisprudence, (Riyadh:
King Saud University Press, 1985
[52] Ibid., hlm. 5-18
[53] Schacht, An Introduction…, op.cit., hlm. 11
[54] Ibid., hlm. 19. Lihat pula The Origins…, op.cit.,
hlm. v
Tidak ada komentar:
Posting Komentar